TUGAS
MANDIRI
Peradaban
suku Buton
Mata
Kuliah: Pengantar Antropologi
Nama Mahasiswa : Sriwahyuni
NIM : 131010032
Kode Kelas :
131-CM008-M3
Dosen : Mellisa Anggraini, SH,MH.
UNIVERSITAS
PUTERA BATAM
Kata Pengantar
Puji syukur kehadirat
Allah Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya lah,
makalah tugas mandiri Antropologi yang berjudul “Peradaban Suku Buton dari
Dahulu Hingga Sekarang” ini dapat terselesaikan.
Makalah ini ditulis
dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah “Pengantar Antropologi” dan
menambah wawasan bahan bacaan tentang “Pengantar Antropologi” serta menambah
ilmu yang terdapat dari bahan makalah ini.
Telah diupayakan agar
isi makalah ini dapat memenuhi harapan Dosen mata kuliah ‘Pengantar
Antropologi” Dengan segala keterbatasan, penulis sadar bahwa makalah ini jauh
dari kesempurnaan, dan masih banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan
saran pembaca, penulis terima demi perbaikan-perbaikan dan kesempurnaan makalah
ini.
Kepada semua pihak yang
telah membantu dan memberikan dukungan dalam penyelesaian tugas makalah ini,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besar nya.
Penulis,
Sriwahyuni
Daftar Isi
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Di zaman yang modern
dan serba canggih ini, Sebagian warga Negara Indonesia dengan masyarakat yang
multikultural ini, masih sangat asing dengan budaya-budaya lain yang ada di
Indonesia. Yang hanya diketahui adalah kebudayaan terhadap individunya
masing-masing, bahkan masih ada juga yang kurang pengetahuannya akan kebudayaan
nya sendiri. Minimnya pengetahuan warga Negara Indonesia terhadap kebudayaan
yang ada di Indonesia juga karena adanya kebudayaan lain yang berkembang di
Indonesia sesuai dengan perkembangan zaman ini. Untuk mengatasi minimnya
pengetahuan tentang kebudayaan di Indonesia ini diperlukan kesadaran individu
untuk lebih memperhatikan kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia.
Di Indonesia yang pada
masa ini masih mempunyai kebudayaan yang multikultural, kebudayaan suku Buton
adalah salah satu kebudayaan yang dari dahulu hingga sekarang ada di Indonesia,
dan menjadi suatu kebanggan karena Indonesia mempunyai kebudayaan yang satu
ini, karena di suku Buton, berbagai macam adat istiadat yang terdapat didalam
suku ini, dari mulai keunikan bahasa, sistem religi, hukum, upacara-upacara
adat dan tradisi-tradisi lainnya.
Oleh karena itu, untuk
meningkatkan pengetahuan akan kebudayaan suku Buton yang ada di Indonesia,
perlu diadakan oleh pemerintah pementasan seni kebudayaan-kebudayaan yang ada
di Indonesia, misalnya drama kehidupan suku-suku yang ada di Indonesia,
tarian-tarian, dan berbagai tradisi lain yang bisa menggambarkan bagaimana
suatu adat kebudayaan tersebut berlangsung di lingkungannya.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, terdapat beberapa
rumusan masalah antara lain:
1.
Jelaskan suku Buton itu?
2.
Jelaskan bentuk-bentuk Kebudayaan yang
terdapat di suku Buton?
3.
Jelaskan aspek-aspek kehidupan yang
terdapat di suku Buton itu?
1.3. Tujuan
1.
Untuk mengetahui bagaimana kebudayaan
Suku Buton itu
2. Untuk
mengetahui Kebudayaan yang terdapat di suku Buton
3. Untuk
mengetahui aspek-aspek kehidupan yang terdapat di suku Buton itu.
BAB II
PEMBAHASAN
1.Sejarah Awal
Kesultanan Buton
terletak di Kepulauan Buton
(Kepulauan Sulawesi Tenggara) Provinsi Sulawesi
tenggara, di bagian
tenggara Pulau Sulawesi . Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton
dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama Kesultanan Buton.
Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah
Mada dalam Sumpah
Palapa, menyebut nama
Pulau Buton.
Sejarah yang pada
umumnya, bahwa Kerajaan di Sulawesi adalah kerajaan yang pertama menerima agama
islam yang dibawa oleh Datuk Ri Bandang yang berasal dari Minangkabau pada
tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin
al-kubra adalah orang yang pertama kali sampai di pulau Buton, sekitar tahun
815 H/1412. Sayid Jamaluddin al-kubra merupakan seorang ulama yang di undang
oleh raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani yang dikatakan datang dari Johor. Ia telah berhasil mengislamkan
Raja Buton yang ke-6 pada tahun 948 H/1538 M.
Pada masa yang sama dengan datangnya Syeikh Abdul Wahid bin
Syarif Sulaiman al-Fathani, salah satu daerah kekuasaan Kerajaan Buton telah
didapati penduduknya beragama islam.
Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Buton berasal dari Ternate.
Orang-orang melayu dari berbagai daerah dipercayai telah lama
sampai ke berbagai daerah di Pulau Buton. Walaupun Bahasa yang digunakan dalam
Kerajaan Buton adalah bahasa Walio, pada saat yang sama digunakan juga Bahasa
Melayu, umumnya bahasa melayu yang digunakan di Malaka, Johor dan Patani. Sudah
sejak lama orang-orang Buton merantau keseluruh pelosok dunia Melayu dengan
menggunakan perahu yang hanya bisa memuat lima orang, hingga perahu besar yang
dapat memuat beban sekitar 150 Ton.
A. Suku Buton
Suku Buton adalah suku
pelaut, Seperti suku-suku
kebanyakan di Sulawesi. Sejak lama
orang-orang Buton merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu yang dari berukuran kecil dan hanya dapat memuat lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang
sekitar 150 ton.
Pada umumnya, orang-orang Buton
adalah masyarakat yang tinggal di wilayah kekuasaan Kesultanan
Buton.
Dan pada saat ini daerah-daerah itu telah menjadi beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi
Tenggara yang
diantaranya adalah Kota
Baubau, Kabupaten
Buton, Kabupaten Buton Utara, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten
Bombana dan Kabupaten
Muna. Namun,
masyarakat Muna lebih senang menyebut mereka sebagai
orang Muna dibandingkan orang Buton.
Selain masyarakat Buton merupakan masyarakat pelaut,
jauh sejak zaman dahulu masyarakat Buton juga sudah mengenal pertanian. Komoditas yang ditanam
oleh masyarakat Buton ini
antara lain padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih,
nanas, pisang, dan segala keperluan hidup mereka sehari-hari. Orang Buton terkenal juga dengan peradabannya yang tinggi dan sampai saat ini peninggalan-peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah Kesultanan
Buton, diantaranya
adalah Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terbesar di dunia,
juga Istana
Malige yang merupakan
rumah adat tradisional Buton
yang berdiri dengan
kokohnya setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku
pun, mata uang Kesultanan Buton yang bernama Kampua, dan banyak lagi.
B. Raja Buton Masuk Islam
Resminya kerajaan Buton
menjadi suatu kerajaan islam pada saat pemerintahan Raja Buton yang ke -6, yaitu
Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Dia lah raja yang diislamkan
Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Dalam
sejarahnya, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum tiba di
Johor ia pernah tinggal di Johor,dan seterusnya pindah ke Andora (Nusa Tenggara
Timur) bersama istrinya. Kemudian berhijrah pula mereka sekeluarga ke Pulau
Batu atas yang masih dalam pemerintahan Buton.
Imam Pasai yang baru
kembali dari Maluku menuju Pasai (Aceh) bertemu dengan Syeikh Abdul Wahid bin
Syarif Sulaiman di Pulau Batu atas, Buton. Imam Pasai menganjurkan agar Syeikh
Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani untuk bertemu dengan Raja Buton.
Syeikh Abdul Wahid menyetujui anjuran
Imam Pasai tersebut. Dan setelah Raja Buton memeluk agama Islam, Baginda
langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid sekitar tahun
948 H/1538 M.
Sultan Buton ke 38, Muhamad Falihi Kaimuddin bersama Presiden RI Pertama Soekarno
Sumber lain mengatakan
bahwa Syeikh
Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani merantau dari Patani-Johor ke Buton
sekitar tahun 1564 M, masih diperdebatkan mengenai tahun tersebut. Yang
dianggap Sultan Pertama adalah Sultan Halu Oleo yang bergelar Sultan Ulil Amri
dan memiliki gelar khusus yaitu Sultan Qaimuddin, arti dari gelar itu adalah
Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam sejarah lain
dikatakan bahwa bukan Syeikh
Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani melantik Sultan Buton yang memeluk
islam pertama kali, tetapi guru beliau yang sengaja didatangkan dari Patani.
Sultan Murhum adalah nama Raja Halu Oleo setelah ditabalkan menjadi Sultan
Kerajaan Buton Islam yang pertama.
Saat diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 -
20 Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan
beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari
Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:
Syeikh Abdul
Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
Syeikh Abdul
Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
Datangnya Syeikh Abdul Wahid kedua kalinya di Buton sekitar tahun 948 H/1541 M bersama guru beliau yang bergelar
Imam Fathani. Saat
itulah terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan
Buton dan sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama.
Maklumat lain,
kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai Sumber
Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama
memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra
dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam
Lembaga Kitabullah, bahawa ``Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah
tahun 1538 Miladiyah.
Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang
disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto
Zuhdi (1537 M), berarti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan
Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi karena masa beliau telah berakhir pada
tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh
Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang
diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut
bahawa ``Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948
H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton,
sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Apa
sebab Sultan Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani? Dan
apa pula sebabnya sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum,
sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.
Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh
aktivitas Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu. Semua yang tersebut
itu sukar untuk dijawab. Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun
memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang
belum diketahui oleh para penyelidik.
Namun walau
bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahwa ada hubungan
antara Patani dengan Ternate. Dan cukup terkenal legenda bahawa orang Buton
sembahyang Jumaat di Ternate tidak diabaikan.
Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang
dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu
tulisan Melayu/Jawi. Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk
perundangan, juga digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan,
naskhah-naskhah dan lain-lain. Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi
menjelang kemerdekaan.
Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang
bercorak Islam maupun sekular, terdapat perbedaan yang sangat kental dengan
pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh.
Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa kerajaan Islam Buton
lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri. Namun
demikian ajaran syariat
Indonesia
1945.
C.Pemerintahan
Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan
bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu
Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan Raja Bataraguru, Raja
Tuarade, Raja Rajamulae, dan terakhir Raja Murhum. Ketika Buton memeluk agama
Islam, maka Raja Murhum bergelar Sultan Murhum.
Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang
datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya.
Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok
ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit.
Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep
kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di
nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan bangsawan:
golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di
tangan golongan Walaka, namun yang menjadi sultan harus dari golongan Kaomu.
Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan,
tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.
Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas
untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian rupa
sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti.
Berdasarkan penelitian, Ratu Waa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama
kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem
pemerintahannya juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem
pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara
Pangka sebagai lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara
Bhitara sebagai lembaga yudikatif.
Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah muncul seratus
tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica Peraturan hukum
diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata hingga sultan.
Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di
antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan.
Dan hukumannya termasuk hukuman mati majelis rakyat Kesultanan Buton adalah
lambang demokrasi Kesultanan Buton. di sini dirumuskan berbagai program
kesultanan dan juga tempat untuk melaksanakan proses pemilihan sultan
berdasarkan aspirasi masyarakat Buton.
Pembagian
kelompok di majelis yang diatur dalam UU yang disebut Tutura ini adalah sebagai
berikut:
Eksekutif =
Sara Pangka
Legislatif =
Sara Gau
Yudikatif =
Sara Bitara
Ada 114
anggota majelis Sara buton yang terdiri dari 3 fraksi
Fraksi rakyat
= Beranggotakan 30 menteri/bonto ditambah 2 menteri besar yang juga mewakili
pemukiman-pemukiman di wilayah Buton.
Fraksi
pemerintahan = Pangka, Bobato, lakina Kadie yang mewakili pemerintahan.
Fraksi Agama =
Diwakili oleh pejabat lingkungan sarakidina/sarana hukumu yang berkonsentrasi
di masjid agung kesultanan Buton.
D.Politik
Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik
Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin
hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe, dan Muna.
Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan
menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi
benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain).
Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai
aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan
ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang
di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam
melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi
daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).
E. Masyarakat
Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil
nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat
baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu
sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat
Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka.
Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang
berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa
Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa
tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena
perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat
mempermudah akses dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau
Jawa.
Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan
gamelan yang terdapat di Jawa.
Imam-imam yang
menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab. Mereka
dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya
sebagai pemimpin di dalam bidang agama. Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu
secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat
kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu seringkali memunculkan konflik yang
berujung kepada perang saudara, bahkan perang agama.
Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu
kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.
Dapat
dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang. Mereka
menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan
atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama.
Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari
Kerajaan Pagaruyung.
Ada pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri Batara dan Raden Jutubun yang
merupakan putra dari Jayanegara.
Seluruh
golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem
putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan
kudeta.
Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan
pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang
berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan
peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.
Mereka berkumpul di tanah Buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah
palapa-nya. Pada masa itu Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Begitu juga
Kerajaan Singosari. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada
Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan
diri menuju tempat yang aman. Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana
beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.
F. Perekonomian
Wilayah
kerajaan/kesultanan Buton sangat strategis. Pedagang dari India, Arab, Eropa
maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan Kalimantan untuk mencapai
kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila melalui Utara Sulawesi dan selatan
kepulauan Filipina, para pedagang akan berhadapan dengan bajak laut yang banyak
berkeliaran di sana. Selain itu, angin di selatan Kalimantan lebih kencang
daripada di sebelah utara Sulawesi. Masyarakat Buton telah menggunakan alat
tukar uang yang disebut Kampua. Kampua Sehelai kain tenun dengan ukuran 17,5 kali 8
sentimeter. Pajak juga telah diterapkan di negeri ini. Tunggu Weti sebagai
penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena
disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga
mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan
ketua lembaga legislatif).
G.Hukum
Hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat
pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan
yang memerintah di Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar
sumpah jabatan dan satu di antaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili
dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai
meninggal yang dalam Bahasa Wolio dikenal dengan istilah digogoli.
H.Bahasa
Etnik/Suku Buton sebutan bagi masyarakat yang berasal dari Kerajaan dan
Kesultanan Buton, memiliki sejumlah bahasa yang berbeda tiap wilayah. Secara
umum, setidaknya ada 4 bahasa yg digunakan oleh 4 kelompok/etnik masyarakat
yakni Bahasa Pancana, Bahasa Cia-Cia, Bahasa Pulo (Wakatobi), dan Bahasa
Moronene.
Selain 4 bahasa tersebut masih terdapat pula beberapa bahasa yang digunakan
oleh kelompok masyarakat yang lebih kecil, seperti bahasa Laompo/Batauga,
Bahasa Barangka/Kapontori, Bahasa Wabula, Bahasa Lasalimu, Bahasa Kolencusu,
Bahasa Katobengke dan sebagai bahasa pemersatu digunakan Bahasa Wolio. Bahasa
Wolio ini merupakan bahasa resmi kesultanan.
I. Pertahanan
Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta
dengan falsafah perjuangan yaitu :
“Yinda Yindamo
Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
“Yinda Yindamo
Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
“Yinda Yindamo
Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
“Yinda Yindamo
Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata
(Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa,
Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan
kebatinan).
Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi
keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak
meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih
dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya
dan arkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa
daerah kabupaten dan kota yaitu : Kabupaten
Buton, Kabupaten
Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Konawe
Kepulauan, Kabupaten
Bombana, Kabupaten Buton Utara, dan Kota
Bau-Bau.
2. Warga Buton yang Masih Mempertahankan Kebudayaannya
Yang masih kuat mempertahankan adat istiadat yang sudah turun
temurun dari nenek moyang nya adalah masyarakat yang tinggal di wilayah Desa
Wabula, Kecamatan Wabula Kabupaten Buton. Tradisi yang sampai saat ini masih
berlangsung disana adalah pesta pidoaano kuri. Pesta ini dimaksudkan sebagai
suatu bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat terhadap Sang Pecipta, pelaksanaan
pesta ini biasanya dilakukan dua kali dalam setahun.
Arti pidoaano kuri ini adalah pembacaan doa untuk keselamatan
hidup. Ritual budaya pidoaano kuri ini digelar oleh masyarakat Wabula pada saat
bulan ketiga dan bulan ketujuh. Tradisi tersebut dikaitkan dengan musim panas
dan musim panen. Ketika budaya tersebut digelar, tidak hanya masyarakat
setempat saja yang merayaknnya, bahkan masyarakat Wabula di rantauan pun
menyempatkan diri untuk pulang dan merayakannya bersama.
Para
sesepuh warga Desa Wabula kab. Buton dengan mengenakan pakaian adat daerah
setempat.
Walaupun tempat
perantauan mereka sangat jauh, masyarakat Wabula tetap pulang kampung untuk
menyempatkan perayaan pesta piodaano kuri ini. Seluruh masyarakat Wabula ini
memanjatkan syukur kepada sang pencipta. Hingga saat ini tradisi tersebut masih
berlangsung secara turun temurun.
Selain itu, kebudayaan
pidoaano kuri ini juga dikatakan sebagai ajang silaturahmi. Karena ketika pesta
tersebut berlangsung, masyarakat Wabula berkumpul dan termasuk disitu warga
perantauan datang untuk meramaikan acara tersebut. Artinya silaturahmi tersebut
tidak hanya warga Wabula saja yang berku,pul
di Desa, tetapi juga warga yang berada diluar kota.
Biasanya pesta ini
berlangsung hingga tiga hari tiga malam. Dalam sejarahnya, warga Wabula tidak
akan tidur selama pesta berlangsung. Mereka akan terus berdoa memanjatkan rasa
syukur. Dan pada acara ini akan diselang acara tarian-tarian adat dan makan
besar.
Penampilan
tarian-tarian adat ini adalah untuk tetap menjaga kebudayaan warga Wabula agar
tidak punah. Kaum pria, wanita, tua muda punya bagian masing-masing. Dalam
penyambutan tamu, akan digelar tarian bure. Tarian bure dilakukan oleh beberapa
tokoh adat. Tarian ini digelar untuk mengirngi tamu tiba di galempa (balai
pertemuan).
Pada acara pidoaano
kuri ini banyak tarian yang ditampilkan. Tarian linda adalah tarian yang biasa
ditampilkan oleh para perempuan. Sementara masyarakat umum, dipuncak acara
menampilkan tarian caca.
Tarian cungka adalah
tarian yang akan dipersembahkan oleh para tokoh adat. Secara umum, tarian khas
masyarakat Wabula memiliki gerakan yang sangat sederhana dan lugas. Dan
mempunyai makna masyarakat Wabula yang sangat ramah.
Sebelum berbagai tarian ditampilkan di galampa, masyarakat
Wabula sudah terbiasa menghidangkan aneka makanan khas kepada para tamu. Bahkan
hidangan makanan yang diberikan kepada tamu (per orangnya) cukup banyak. Mulai
dari nasi lengkap dengan lauk pauknya, hingga buah-buahan dan aneka cemilan.
Lagamii menjelaskan,
aneka makanan itu dibuat oleh warga Wabula secara bergotong royong dan tanpa
perintah lagi. Artinya jika mendengar ada tamu yang akan berkunjung,
masing-masing warga biasanya memberikan sumbangan aneka makanan. Tamu dan warga
yang berkumpul di galampa mendapat porsi yang sama. Setelah memanjatkan doa
yang dipimpin tokoh adat, maka acara makan besar pun dimulai.
Bupati Buton, Samsu
Umar Abdul Samiun, S.H. bertekad akan terus melindungi dan memelihara budaya
yang ada di masing-masing desa. Satu wilayah dengan wilayahnya, sudah pasti ada
perbedaan budaya, tapi biarkan semuanya berkembang dan bisa dikenal secara
luas, sekaligus dapat diandalkan jadi daya tarik wisata Buton.
Suku di Buton itu macam-macam. Sudah pasti budayanya berbeda.
Dari bahasa saja sudah terlihat tidak sama, walau asli penduduk Buton. Itu
uniknya Buton. Hanya, perbedaan-perbedaan itu tidak membuat masyarakat Buton
terpecah. Semangat gotong royong dan silaturahmi warga Buton masih sangat kuat.
Warga Buton juga sangat ramah kepada pendatang atau tamu.
Selain mengandalkan seni budayanya, Kab. Buton masih punya
daya tarik untuk para wisatawan. Hutan dan gunung di Buton yang masih perawan,
selama ini sering menjadi objek wisata ilmiah. Banyak peneliti dari luar negeri
yang melakukan survei ke sana. Demikian juga dengan wisata bahari, Buton
memiliki garis pantai yang panjang, dan pasir putinya yang masih bersih.
Kuliner khas daerah Buton juga cukup mengundang selera.
Sementara untuk
kerajinan, barang yang cukup dikenal di Buton, yakni kain tenun dan mutiara
kerang mabe.
Ke
depan, bisa juga dikembangkan wisata wilayah penambangan. Selama ini banyak
juga wisatawan yang berkunjung ke Buton penasaran dengan lokasi penambangan
aspal, nikel, batu kapur, hingga emas.
3.
Tradisi-Tradisi Masyarakat Buton
a. Pakande-Kandea
Pakande-kandea adalah salah satu acara tradisional dalam rangka mensyukuri nikmat anugrah yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa selama setahun dan berharap tahun depan dapat lebih baik lagi. Acara ini biasa dilaksanakan setelah idul fitri atau pembukaan tahun.
a. Pakande-Kandea
Pakande-kandea adalah salah satu acara tradisional dalam rangka mensyukuri nikmat anugrah yang telah diberikan oleh Yang Maha Kuasa selama setahun dan berharap tahun depan dapat lebih baik lagi. Acara ini biasa dilaksanakan setelah idul fitri atau pembukaan tahun.
Dalam pelaksanaannya, masyarakat
menyiapkan talam yang berisi makanan tradisional. Disinilah gadis remaja dengan
menggunakan busana tradisional duduk menghadapi talang masing-masing dan
selanjutnya menunggu dua orang pelaksana mengucapkan wore sebagai tanda acara
telah dimulai.
b.Posuo
Posuo (pingitan) adalah prosesi yang dilakukan selama 8 hari 8 malam bagi gadis remaja yang telah aqil baligh dalam rangka menyongsong masa berumah tangga dengan dipandu oleh seorang bhisa (guru). Kegiatan ini bertujuan untuk mengajarkan kepribadian, pembentukan akhlak , etika serta hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan. Bagi gadis remaja yang telah dipingit atau keluar dari ruangan maka resmilah disebut “kalambe” atau wanita yang telah dewasa.
b.Posuo
Posuo (pingitan) adalah prosesi yang dilakukan selama 8 hari 8 malam bagi gadis remaja yang telah aqil baligh dalam rangka menyongsong masa berumah tangga dengan dipandu oleh seorang bhisa (guru). Kegiatan ini bertujuan untuk mengajarkan kepribadian, pembentukan akhlak , etika serta hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan. Bagi gadis remaja yang telah dipingit atau keluar dari ruangan maka resmilah disebut “kalambe” atau wanita yang telah dewasa.
c.Dole-Dole
Dole-dole meruakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat buton atas lahirnya seorang anal. Menurut kepercayaan orang buton, anak yang telah didole-dole akan terhindar dari segala macam penyakit. Prosesi dole-dole sendiri adalah sang anak diletakkan di atas nyiru yang dialas dengan daun pisang yang diberi minyak kelapa. Selanjutnya anak tersebut digulingkan diatasnya seluruh badan anak tersebut berminyak. Biasanya dilakukan pada bulan rajab, syaban dan setelah Lebaran sebagai waktu yang dianggap baik.
Dole-dole meruakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat buton atas lahirnya seorang anal. Menurut kepercayaan orang buton, anak yang telah didole-dole akan terhindar dari segala macam penyakit. Prosesi dole-dole sendiri adalah sang anak diletakkan di atas nyiru yang dialas dengan daun pisang yang diberi minyak kelapa. Selanjutnya anak tersebut digulingkan diatasnya seluruh badan anak tersebut berminyak. Biasanya dilakukan pada bulan rajab, syaban dan setelah Lebaran sebagai waktu yang dianggap baik.
4. Kabupaten Buton
Kabupaten Buton
memiliki sungai-sungai: Sungai Sampolawa di Kecamatan Sampolawa, Sungai Winto
dan Tondo di Kecamatan Pasar Wajo, Sungai Malaoge, Tokulo dan Sungai Wolowa di
Kecamatan Lasalimu. Dari sudut oceanografi memiliki perairan laut yang masih
luas, yaitu diperkirakan sekitar 21.054.69 km2 setelah berpisah dengan
Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana.
Wilayah perairan
tersebut sangat potensial untuk pengembangan usaha perikanan dan pengembangan
wisata bahari, karena disamping hasil ikan dan hasil laut lainnya, juga
memiliki panorama laut yang sangat indah yang tidak kalah dengan daerah lain di
Indonesia.
Bunus Wolio artinya Rumah adat Buton, yang
mempunyai nama berbeda menurut status penghuni dalam status sosial
kemasyarakatan.
Rumah adat Buton
tersebut terbagi menjadi: Kamali atau Malige untuk tempat tinggal Sultan, Rumah
pejabat. kesultanan, dan Rumah untuk masyarakat umum.
5. Basilika Pulau Liwu Tongkidi
Basilika Pulau Liwu Tongkidi merupakan pulau kecil seluas 1.000
km, dengan iklim tropis dan rata-rata curah hujan 2.000 mm/tahun, Pulau ini termasuk
dalam kawasan pengembangan Terpadu BASIUKA (Batauga.
Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua) di Kabupaten Buton. Pulau
kecil dikelilingi pasir putih ini memiliki kekayaan bawah laut berupa
keanekaragaman terumbu karang dan biota laut yang masih dalam kondisi terjaga
dari campur tangan manusia. Pulau ini mudah dijangkau dari Pelabuhan Bau Bau,
kurang lebih 15 menit dengan speed boat.
Kawasan BASILIKA (Pantai Batauga, Siompu, Liwutongkidi dan Kadatua) memiliki
gugusan terumbu karang dan keragaman biodiversity yang terhampar di gugusan
pulau-pulau tersebut termasuk Pulau Batu Atas dan Pulau Kawi-Kawia.
Kepulauan Basilika saat ini menjadi destinasi wisata
unggulan Kabupaten Buton dengan beberapa perkembangan anrara lain: pertama
kondisi terumbu karangnya relatif masih baik dan serupa dengan struktur terumbu
karang Wakatobi dan Taka Bonerate yang bersebelahan dengana kawasan ini; kedua
Basilika menjadi pilihan lokasi selam bagi Divers selain tujuan selam di Sulsel
(Taka Bonerate), Wakatobi ataupun Bunaken.
Operation Wallacea telah mengembangkan Hutan Lindung Lambusango dan Kakenauwe sebagai kawasan
ecoturism yang berbasis ilmu pengetahuan dan konservasi, kawasan ini kaya akan
keanekaragaman dan keaslian flora dan fauna dan sangat ideal bagi aktivitas
petualangan seperti trekking, bird watching, camping dan lain-lain. Setiap
tahunnya, ratusan mahasiswa mancanegara melakukan program penelitian di kawasan
ini.
6. Keraton Buton
Berebut mata uang,
Salah satu daya tarik wisata di Buton adalah demonstrasi penyelaman coin atau
barang apa saja oleh bocah-bocah setempat. Para bocah ketika memperebutkan coin
di kolam pelabuhan Murhum Baubau, disaksikan puluhan ribu masyarakat Buton
sendiri. Bila Anda sebagai seorang turis berkunjung ke Baubau, ibu kota
Kabupaten Buton, jangan lupa mengantungi uang recehan (coin) secukupnya. Sebab
di kolam pelabuhan Murhum Baubau, Anda pasti diminta melemparkan sesuatu oleh
kawanan bocah yang sedang bermain-main di perairan kolam pelabuhan tersebut.
Biasanya, orang memang melemparkan uang recehan lalu diperebutkan para bocah
itu. Permainan memperebutkan coin atau
barang apa saja, semula hanya bisa dilihat di perairan Desa Baruta, Kabupaten
Buton. Celah agak sempit yang memisahkan daratan Pulau Muna dan Pulau Buton itu
adalah alur pelayaran lokal yang menghubungkan kota Baubau, Raha, dan Kendari
sebagai ibu kota Propinsi Sultra. Pemandangan dunia anak-anak desa yang lugu
dan lucu akan segera muncul setelah satu jam pelayaran dari Baubau menunju
Raha, ibu kota Kabupaten Muna, atau sebaliknya menjelang satu jam sebelum kapal
yang ditumpangi merapat di dermaga pelabuhan Murhum Baubau.
Di
alur sempit itu setiap kapal yang lewat dihadang puluhan sampan kecil yang
dijalankan bocah- bocah berumur di bawah 10 tahun. Mereka berlompatan ke laut sambil
berteriak kepada penumpang kapal agar melemparkan apa saja, untuk diperebutkan
melalui ketangkasan menyelam ke bawah permukaan laut.
Mereka berpakaian setengah telanjang. Bahkan ada yang tak berbusana sama sekali sehingga “burung” mereka tampak bergelantungan ketika berlompatan menukik ke bawah permukaan laut, untuk mendapatkan benda apa saja yang dilemparkan dari atas kapal.
Benda sekecil kelereng pun tak lolos dari tangan mereka karena kemahiran menyelam. Setiap kali mendapatkan benda itu, mereka perlihatkan kepada para penumpang sambil berteriak kegirangan, lalu minta lagi untuk dilemparkan barang apa saja. Sementara kapal terus melaju meninggalkan anak-anak tersebut.
Mereka berpakaian setengah telanjang. Bahkan ada yang tak berbusana sama sekali sehingga “burung” mereka tampak bergelantungan ketika berlompatan menukik ke bawah permukaan laut, untuk mendapatkan benda apa saja yang dilemparkan dari atas kapal.
Benda sekecil kelereng pun tak lolos dari tangan mereka karena kemahiran menyelam. Setiap kali mendapatkan benda itu, mereka perlihatkan kepada para penumpang sambil berteriak kegirangan, lalu minta lagi untuk dilemparkan barang apa saja. Sementara kapal terus melaju meninggalkan anak-anak tersebut.
Kini
permainan anak-anak itu dapat juga disaksikan di kolam pelabuhan Baubau. Yaitu
pada setiap kedatangan kapal penumpang milik Pelni di pelabuhan tersebut
sebanyak 2-3 kali seminggu, dan pada setiap penyelenggaraan Festival Keraton
Buton (Buton Palace Festival). Festival itu diprakarsai Bupati Buton Kolonel
(Czi) Saidoe dan digelar secara rutin setiap tanggal 12-13 September.
BUTON dan kota Baubau khususnya menyimpan
banyak pesona wisata. Selain wisata bahari, termasuk produk budaya bahari
seperti penyelaman coin dan aneka tarian bernuansa laut, di sebuah bukit yang
terletak 3 km selatan kota berdiri kukuh benteng keraton yang menjadi simbol
kekuasaan Kesultanan Buton di masa lampau.
Banyak obyek menarik di dalam benteng Keraton Wolio itu. Di sana ada batu Wolio, batu popaua, masjid agung, makam Kaimuddin (Sultan Buton pertama), Istana Badia, dan meriam-meriam kuno.
Batu Wolio adalah sebuah batu biasa berwarna gelap. Besarnya kurang lebih sama dengan seekor lembu sedang duduk berkubang. Konon, di sekitar batu inilah rakyat setempat menemukan seorang putri jelita bernama Wakaa-Kaa yang dikatakan berasal dari Tiongkok.
Putri itu kemudian dijadikan pimpinan (ratu). Pelantikan raja tersebut dilakukan di atas batu popaua. Batu ini terletak sekitar 200 meter dari batu Wolio. Permukaan batu popaua hampir rata dengan tanah, namun mempunyai lekukan berukuran hampir sama dengan telapak kaki manusia. Di lekukan itulah putri Wakaa-kaa menginjakkan kaki kanannya sambil mengucapkan sumpah jabatan sebagai ratu di bawah payung yang diputar sebanyak tujuh kali.
Karena itu batu tersebut disebut batu popaua (batu tempat diputarkan payung raja). Tradisi pelantikan ratu atau raja di atas batu tersebut berjalan hingga di zaman kesultanan, bentuk pemerintahan kerajaan Buton setelah masuknya Islam.
Batu popaua terletak di kaki sebuah bukit kecil tempat berdirinya Masjid Agung Keraton Buton. Masjid ini dibangun tahun 1712 di masa pemerintahan Sultan Buton XIX bernama Lang Kariri dengan gelar Sultan Sakiuddin Darul Alam.
Masjid berukuran 21 kali 22 meter itu memiliki tiang bendera di sisi sebelah timur. Dalam tafsir Al Azhar karangan almarhum Buya Hamka disebutkan, tiang bendera itu juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan hukuman gantung menurut hukum Islam.
Tetapi ada sedikit bau mistik di dalam masjid tua itu. Di belakang mimbar khatib atau di ujung kepala imam tatkala dalam keadaan sujud terdapat pintu gua yang disebut “pusena tanah” (pusat bumi) oleh orang-orang tua di Buton. Konon dari dalam gua itu keluar suara azan pada suatu hari Jumat. Peristiwa itu menjadi latar belakang pendirian masjid di tempat tersebut.
Ketika masjid itu direhabilitasi pada tahun 1930-an, pintu gua tadi ditutup dengan semen sehingga ukurannya lebih kecil menjadi sebesar bola kaki. Lubangnya diberi penutup dari papan yang bisa dibuka oleh siapa yang ingin melihat pintu gua itu.
Di salah sebuah kamar Kamali (istana) Badia, masih di kompleks keraton, terdapat meriam bermoncong naga. Menurut Drs H La Ode Manarfa (79), Sultan Buton ke-39, meriam bersimbol naga tersebut dibawa leluhurnya Wakaa-kaa dari Tiongkok sekitar 700 tahun silam. Meriam itu masih memiliki peluru dan masih bisa diledakkan.
Kamali Badia itu sendiri tidak lebih dari rumah konstruksi kayu khas Buton sebagaimana rumah anjungan Sultra di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Sesuai tradisi, rumah atau istana Kesultanan Buton harus dibuat keluarga sultan dengan biaya sendiri.
Banyak obyek menarik di dalam benteng Keraton Wolio itu. Di sana ada batu Wolio, batu popaua, masjid agung, makam Kaimuddin (Sultan Buton pertama), Istana Badia, dan meriam-meriam kuno.
Batu Wolio adalah sebuah batu biasa berwarna gelap. Besarnya kurang lebih sama dengan seekor lembu sedang duduk berkubang. Konon, di sekitar batu inilah rakyat setempat menemukan seorang putri jelita bernama Wakaa-Kaa yang dikatakan berasal dari Tiongkok.
Putri itu kemudian dijadikan pimpinan (ratu). Pelantikan raja tersebut dilakukan di atas batu popaua. Batu ini terletak sekitar 200 meter dari batu Wolio. Permukaan batu popaua hampir rata dengan tanah, namun mempunyai lekukan berukuran hampir sama dengan telapak kaki manusia. Di lekukan itulah putri Wakaa-kaa menginjakkan kaki kanannya sambil mengucapkan sumpah jabatan sebagai ratu di bawah payung yang diputar sebanyak tujuh kali.
Karena itu batu tersebut disebut batu popaua (batu tempat diputarkan payung raja). Tradisi pelantikan ratu atau raja di atas batu tersebut berjalan hingga di zaman kesultanan, bentuk pemerintahan kerajaan Buton setelah masuknya Islam.
Batu popaua terletak di kaki sebuah bukit kecil tempat berdirinya Masjid Agung Keraton Buton. Masjid ini dibangun tahun 1712 di masa pemerintahan Sultan Buton XIX bernama Lang Kariri dengan gelar Sultan Sakiuddin Darul Alam.
Masjid berukuran 21 kali 22 meter itu memiliki tiang bendera di sisi sebelah timur. Dalam tafsir Al Azhar karangan almarhum Buya Hamka disebutkan, tiang bendera itu juga digunakan sebagai tempat pelaksanaan hukuman gantung menurut hukum Islam.
Tetapi ada sedikit bau mistik di dalam masjid tua itu. Di belakang mimbar khatib atau di ujung kepala imam tatkala dalam keadaan sujud terdapat pintu gua yang disebut “pusena tanah” (pusat bumi) oleh orang-orang tua di Buton. Konon dari dalam gua itu keluar suara azan pada suatu hari Jumat. Peristiwa itu menjadi latar belakang pendirian masjid di tempat tersebut.
Ketika masjid itu direhabilitasi pada tahun 1930-an, pintu gua tadi ditutup dengan semen sehingga ukurannya lebih kecil menjadi sebesar bola kaki. Lubangnya diberi penutup dari papan yang bisa dibuka oleh siapa yang ingin melihat pintu gua itu.
Di salah sebuah kamar Kamali (istana) Badia, masih di kompleks keraton, terdapat meriam bermoncong naga. Menurut Drs H La Ode Manarfa (79), Sultan Buton ke-39, meriam bersimbol naga tersebut dibawa leluhurnya Wakaa-kaa dari Tiongkok sekitar 700 tahun silam. Meriam itu masih memiliki peluru dan masih bisa diledakkan.
Kamali Badia itu sendiri tidak lebih dari rumah konstruksi kayu khas Buton sebagaimana rumah anjungan Sultra di Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Sesuai tradisi, rumah atau istana Kesultanan Buton harus dibuat keluarga sultan dengan biaya sendiri.
Ada juga istana di kota
Baubau. Tetapi istana yang dulu cukup megah, kini tidak terawat lagi. Istana
itu di awal kemerdekaan dipinjamkan untuk sekolah AMS (Amtenaar Middlebare
School), lalu menjadi kampus Universitas Dayanu Ikhsanuddin (Unidayan). Sesuai
dengan fungsinya tersebut, maka Kamali Baubau disebut Istana Ilmiah. “Istana
itu dibangun tahun 1922 dengan bantuan Belanda. Karena itu para sultan tak mau
berdiam di situ,” ujar Manarfa.
Obyek lain yang tak kalah menariknya adalah benteng keraton sendiri. Benteng Keraton Buton yang aslinya disebut Keraton Wolio dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton VI (1632-1645), bernama Gafurul Wadudu. Benteng ini berbentuk huruf dhal dalam alpabet Arab yang diambil dari huruf terakhir nama Nabi Muhammad saw.
Panjang keliling benteng tersebut 3 kilometer dengan tinggi rata-rata 4 meter dan lebar (tebal) 2 meter. Bangunannya terdiri atas susunan batu gunung bercampur kapur dengan bahan perekat dari agar-agar, sejenis rumput laut. Luas seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng meliputi 401.911 meter persegi.
Benteng Keraton Wolio memiliki 12 pintu gerbang dan 16 pos jaga (bastion). Tiap pintu gerbang (lawa) dan bastion dikawal empat sampai enam meriam. Pada pojok kanan sebelah selatan terdapat godana-oba (gudang mesiu) dan gudang peluru di sebelah kiri.
Keberadaan benteng tersebut membawa pengaruh hebat bagi eksistensi Kerajaan Islam Buton. Kesultanan ini mampu bertahan selama kurang lebih empat abad, tidak termasuk masa pemerintahan raja-raja non-Islam selama kurang lebih dua abad sebelumnya.
Bahkan benteng itu menjadi sumber motivasi dan semangat bagi generasi sekarang. Gubernur Kaimoeddin selalu mengajak kepada aparatnya untuk mencontoh etos kerja di zaman dulu.
Obyek lain yang tak kalah menariknya adalah benteng keraton sendiri. Benteng Keraton Buton yang aslinya disebut Keraton Wolio dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton VI (1632-1645), bernama Gafurul Wadudu. Benteng ini berbentuk huruf dhal dalam alpabet Arab yang diambil dari huruf terakhir nama Nabi Muhammad saw.
Panjang keliling benteng tersebut 3 kilometer dengan tinggi rata-rata 4 meter dan lebar (tebal) 2 meter. Bangunannya terdiri atas susunan batu gunung bercampur kapur dengan bahan perekat dari agar-agar, sejenis rumput laut. Luas seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng meliputi 401.911 meter persegi.
Benteng Keraton Wolio memiliki 12 pintu gerbang dan 16 pos jaga (bastion). Tiap pintu gerbang (lawa) dan bastion dikawal empat sampai enam meriam. Pada pojok kanan sebelah selatan terdapat godana-oba (gudang mesiu) dan gudang peluru di sebelah kiri.
Keberadaan benteng tersebut membawa pengaruh hebat bagi eksistensi Kerajaan Islam Buton. Kesultanan ini mampu bertahan selama kurang lebih empat abad, tidak termasuk masa pemerintahan raja-raja non-Islam selama kurang lebih dua abad sebelumnya.
Bahkan benteng itu menjadi sumber motivasi dan semangat bagi generasi sekarang. Gubernur Kaimoeddin selalu mengajak kepada aparatnya untuk mencontoh etos kerja di zaman dulu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulannya bahwa:
Peradaban kebudayaan suku Buton ini
sangat kaya dengan adat istiadat, sejarah yang panjang yang banyak memperjelas
pengetahuan akan suku Buton ini sendiri, Suku Buton adalah suku pelaut, Seperti suku-suku kebanyakan di Sulawesi. Sejak lama orang-orang Buton merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu yang dari berukuran kecil dan hanya dapat memuat lima orang, hingga perahu besar.
B. Saran
setiap warga Negara
Indonesia masih sangat kurang akan pengetahuan mengenai kebudayaan adat yang
ada di Indonesia ini, termasuk budaya adat istiadat suku Buton ini, karna oleh
kelengahan kita sebagai warga Negara Indonesia menjaga kebudayaan budaya kita
dengan mudah di klaim negara lain. Untuk itu diharapkan kepada warga Negara
Indonesia dapat melestarikan kebudayaan yang ada di Indonesia ini, dan selalu
menjaga nya agar tidak diklaim Negara lain, cintailah budaya Indonesia.
Daftar Pustaka
http://fatawisata.com/sulawesi-tenggara/1236-kabupaten-buton-
http://liburan.info/content/view/580/43/